Tahun ini pemerintah telah memberikan porsi 40 persen untuk sekolah dalam menentukan kelulusan siswa, sementara 60 persen tetap dipegang pemerintah melalui hasil ujian nasional. Angka 60 persen tentunya lebih besar sehingga penentuan kelulusan masih didominasi oleh peran pemerintah, bukan oleh guru. Selain itu, penentu kelulusan lebih didominasi oleh ujian, bukan oleh bentuk assessment-assessment lain.
Dilihat dari porsi 40 persen ditentukan oleh sekolah dan 60 persen oleh ujian sekolah berarti kelulusan siswa ditentukan oleh 60 persen hasil UN, 24 persen ujian akhir sekolah (UAS), dan 16 persen dari penilaian lain. Atau, dengan kata lain, 84 persen kelulusan ujian ditentukan oleh ujian.
Ada tiga permasalahan utama di sini, yakni...
pemerintah memegang peran besar dalam menentukan kelulusan siswa melalui UN (60 persen). Ini tentu akan menentukan nasib jutaan siswa Indonesia, padahal siswa-siswi ini dididik di dalam sistem yang dirancang sendiri oleh pemerintah. Artinya, kalaupun ada kegagalan dalam UN, kesalahannya bisa disebabkan oleh sistem pendidikanm, bukan oleh siswa.
Untuk itu, yang perlu dievaluasi seharusnya bukan hanya siswa, tetapi juga sistem pendidikan nasional itu sendiri. Pemerintah berlaku tidak adil karena mau mengevaluasi siswa tanpa mau melakukan evaluasi terhadap sistem yang diciptakannya sendiri. Buktinya, meskipun pemerintah sering mengatakan bahwa UN digunakan untuk melakukan pemetaan pendidikan, hal ini tidak benar-benar pernah terjadi.
Sampai saat ini, belum pernah ada hasil pemetaan pendidikan yang dilakukan, apalagi disiarkan ke publik, termasuk hasil analisanya. Program-program pemerintah di bidang pendidikan termasuk rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), taman bacaan di mal, dan lain-lainnya tidak pernah dirancang berdasarkan hasil pemetaan pendidikan di Indonesia.
Kedua, pemerintah tidak memahami esensi dari sebuah assessment. Assessment, apapun bentuknya, harus digunakan untuk memberi support siswa dalam proses belajar. Assessment digunakan untuk mendeteksi apa yang dipahami maupun yang belum dipahami siswa.
Oleh karena itu, assessment terhadap siswa sebaiknya dilakukan sepanjang masa sekolah, bukan di akhir massa sekolah, sehingga permasalahan apapun dihadapi siswa bisa diselesaikan saat itu juga. Sekolah tidak perlu menunggu sampai akhir masa belajar untuk mengetahui kemampuan siswa dan permasalahan siswa dalam belajar.
Ketiga, pemerintah masih menggunakan paradigma bahwa bentuk assessment yang terbaik adalah ujian. Hal ini dibuktikan dengan penentuan kelulusan yang didominasi oleh ujian (84 persen).
Tampaknya, dalam hal ini pemerintah sudah ketinggalan zaman. Pemerintah tidak paham bahwa di berbagai belahan dunia lainnya assessment tidak didominasi oleh ujian.
Assessment ini harus dilakukan oleh guru, bukan pemerintah. Tentunya, agar guru bisa melakukan ini, pemerintah harus menciptakan sistem yang memungkinkan semua guru di Indonesia memiliki kemampuan ini.
Perbaikan sistem
Menurut penelitian Gardner (2010, h.2), kalau guru memperoleh pelatihan yang tepat dan efektif terkaitassesment, maka penilaian guru akan jauh lebih nyata dan valid dibandingkan ujian eksternal manapun. Pertanyaannya, apakah pemerintah telah melatih guru-guru di Indonesia untuk bisa menjalankan bervarasi bentuk assessment untuk menilai siswa?
Negara-negara dengan kualitas pendidikan baik sudah banyak yang meninggalkan paradigma yang menekankan evaluasi terhadap siswa jauh lebih penting ketimbang evaluasi terhadap sistem. Sistemlah yang perlu diperbaiki terlebih dahulu sebelum mengevaluasi siswa. Hal itu seperti diungkapkan di dalam sebuah program TV mengenai pendidikan di Swedia (Early Years – Teachers TV), "In our curriculum it says that it is not the children we should evaluate. It is processes in school. How we do things. We should evaluate that. But not the child, which is a big different".
Finlandia, negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia, pun memiliki paradigma yang sama terhadap ujian. Ujian eksternal hanya digunakan untuk melakukan evaluasi sistem secara keseluruhan (OECD, 2011, h.123). Lalu, apakah sistem yang dirancang oleh pemerintah kita berfungsi dengan baik?
Ada begitu banyak pekerjaan rumah (PR) yang tidak dapat dilakukan oleh pemerintah dengan baik, yaitu memastikan semua guru berkualitas dengan menciptakan sistem peningkatan profesi guru yang baik, memastikan semua siswa di Indonesia terakses dengan sumber informasi yang memadai sehingga memudahkan mereka belajar, memastikan tidak ada sekolah kekurangan guru, serta juga mengevaluasi sistem pendidikan nasional secara keseluruhan.
Sebaliknya, saat ini, meskipun banyak PR belum diselesaikan, pemerintah tetap berperan besar dalam menentukan kelulusan siswa. Padahal, kalaupun ada sejumlah siswa tidak lulus ujian, kesalahannya belum tentu kesalahan siswa, tetapi kesalahan sistem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar