Apa yang tersulit bagi seorang guru?
Menguasai materi pelajaran yang akan diajarkan?
Mengendalikan suasana kelas?
atau anda punya jawaban lain?
Tapi bagi saya yang tersulit bagi guru adalah menjadi inspirasi bagi siswanya untuk berubah menjadi lebih baik.
Ya, berubah dalam arti yang luas.
Entah yang tadinya malas, menjadi rajin. Yang tadinya nggak tahu apa tujuan sekolah menjadi tahu kenapa harus sekolah… dan seterusnya.
Ya, saya akui itu tidak mudah.
Karena membutuhkan lebih sekedar menguasai materi yang akan diajarkan dikelas. Dan sialnya lagi kadang-kadang kita membutuhkan keterampilan lain yang tidak diajarkan dibangku kuliah sekolah keguruan.
Saya jadi teringat saat saya PPL (Praktik Pengalaman Lapangan). Takdir Allah menentukan bahwa saya PPL di SMA paling favorit di Jember saat itu.
Sebelum kita masuk di sana, sudah ada “psy war” dari dosen dan temen-temen yang PPL di sekolah lain, bahwa di sana anak nya pinter-pinter kalo nggak siap materi bisa kelabakan dan seterusnya dan seterusnya. Terus terang saya dan sebagian teman yang PPL di SMA itu merasa kecut dan ciut nyali. Apalagi guru pamong/pembimbing kami termasuk orang-orang peninggalan jaman dahulu kala yang wajib dilestarikan oleh cagar budaya… hehhee… Beliau juga dengan nada agak tinggi hati membanggakan kepandaian murid-muridnya… wah semakin keder kami juga.
Setelah hari pertama, saya yang ditunjuk teman-teman sebagai kordinator dari jurusan bahasa Inggris, berembuk untuk menyiapkan strategi yang kami gunakan untuk agar bias bertahan dan kuat untuk PPL di situ, dan sepakat saling membantu.
Setelah pembagian kelas, saya mendapatkan kelas 2 Fisika 2 – yang katanya disebut-sebut kelas paling elit dan anaknya pinter-pinter.
Ya memang pinter, karena materi yang saya siapkan untuk satu 2 jam pelajaran bisa dibabat habis hanya dalam waktu satu jam saja. Wuih keringat dingin membasahi tubuh saya, untung pakai kaus dalam agak tebal jadi nggak kabanjiran.
Agak kikuk juga saya memikirkan apa yang harus saya sampaikan di depan kelas, apalagi sang guru pamong melihat saya dari sudut kelas.. seolah-olah bekata
“Betul khan murid-murid saya pandai…”
Saya mengutuki diri, tetapi pada saat bersamaan saya juga menguatkan diri. Ingatkan saya langsung melesat menuju saat saya SMA, saya ingat setiap kali ada guru PPL pasti kami ngerjain sampai guru PPL tersebut takluk, dan saya selalu kebagian menanyakan hal-hal yang dianggap sulit dalam pelajaran bahasa inggris. Saya coba mengingat lagi kira-kira apa pertanyaan yang mematikan guru-guru PPL waktu itu,
“AHA…!” seru saya dalam hati. Seketika kekuatan saya pulih, berangsur keringat dingin mengering.
“Okay class, can you tell me. The adjectives that have no comparission degree?”
Saya lihat reaksi seluruh kelas. Saya tatap mata-mata anak-anak yang katanya pandai, saya lirik guru pamong yang mengawasi saya..
Bebarapa saat saya tunggu,
“Any body knows?”
Kelas sunyi. Dalam hati saya bersorak… “Ah… ternyata muridmu tak sepandai yang kau banggakan Bu!”
Saya ulangi pertanyaan itu 3 kali, dan tidak ada jawaban
“Saya, menang!” batin saya kegirangan. “Kelas dalam kendali saya sepenuhnya!” sorak saya sekali lagi.
Akhirnya saya beritahu jawabannya. Anak-anak cuman terdiam, nggak nyangka pertanyaan mematikan..
Dan selanjutnya waktu terasa begitu cepat…. Karena bel pelajaran sudah mengusir saya dari kelas yang katanya diisi anak-anak yang paling pandai di sekolah itu..
Saya pun keluar kelas dengan hati lega..
(Pengalaman Bp HM Cahyo, aktivis lingkar pena malang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar