“Jangan lupa approve ya,” “Udah di-follow back, belum?” “ID messenger kamu apa?” Yaah.., pertanyaan-pertanyaan seperti itu sudah umum terdengar. Jejaring sosial memang makin marak saja.
Facebook-ing, Twitting, Skype-ing, dan chatting adalah kegiatan lumrah yang biasa mengisi waktu senggang kita. “Kurang” rasanya kalau kita nggak punya akun pribadi di salah satu jejaring sosial tersebut. Minimal punya akun Facebook, Twitter dan Yahoo Messenger. Dan nggak sedikit yang merasa “gatal” kalau sehari saja nggak update status.
Seringkali kita melihat orang yang asyik memainkan HP mereka dalam situasi apapun tanpa memedulikan lingkungan sekitar. Jika dicek, pasti mayoritas dari mereka sedang akun pribadi di salah satu situs jejaring sosial.Sadarkah kamu kalau situs-situs jejaring sosial tersebut sudah menyita waktu kita untuk berkomunikasi dengan sesama? Nggak sedikit yang sudah menyalahgunakan fungsi jejaring sosial, misalnya sebagai media untuk menumpahkan isi hati atau malah mengobrol. Menurut Kasandra Putranto, psikolog; sesuai dengan namanya, jejaring sosial berfungsi untuk memperluas jaringan, sarana berkomunikasi dan berinteraksi, bahkan berdagang. Tetapi, ada oknum-oknum yang menyalahgunakannya menjadi media ekspresi pelampiasan negatif, manipulasi, penipuan bahkan kesempatan mencari mangsa.
Masing-masing orang sibuk dengan dunianya sendiri
Masing-masing orang sibuk dengan dunianya sendiri
Benarkah jejaring sosial bisa menimbulkan ketagihan bagi para pengguna? “Ketagihan atau tidak akan kembali kepada karakter individunya. Mereka yang memang punya potensi adiktif bisa saja menampilkan ciri khas adiksi terhadap jejaring sosial, misalnya sehari nggak update status rasanya jadi resah dan gelisah,” ujar Kasandra. Sebagai contoh nyata, kamu bisa lihat seberapa sering orang berkicau dalam akunnya dalam sehari.
Dan ternyata, orang-orang yang lebih suka berkicau dalam akun pribadinya dibandingkan dengan berbicara secara langsung dengan orang sudah memasuki perilaku yang menyimpang. Dan sudah banyak orang yang teralienasi gara-gara jejaring sosial. “Dari data yang ada, dampak jangka pendek maupun jangka panjang, banyak yang mengacaukan dunia nyata dan dunia maya, hidup lebih di dunia maya, mengabaikan dunia nyata, kehilangan waktu dan interaksi secara kuantitas dan kualitas dengan keluarga dan orang sekitar,” Kasandra menjelaskan. Bisa saja kamu lupa apakah yang kamu alami benar-benar nyata atau hanya merupakan lelucon kecil yang kamu lemparkan di dunia maya milikmu. Dan bayangkan bagaimana hubungan kamu dengan orang-orang terdekatmu kalau kamu cuma sibuk berkutat dengan teman-temanmu di dunia maya? Orang yang sibuk dengan dunia maya biasanya cenderung mengacuhkan keadaan di sekitarnya, sehingga justru orang-orang terdekat di sekitarnya malah nggak digubris.
Mungkin sebagian dari kita berinteraksi dengan orang-orang melalui jejaring sosial merupakan salah satu pelepas penat, tapi semuanya harus digunakan dalam batas wajar tanpa mengesampingkan lingkungan di sekitar kamu. “Jejaring sosial memang bisa digunakan sebagai alat pelepas stres, tetapi tetap tidak bisa menggantikan intervensi psikologis dan psikiatri formal yang dibutuhkan dalam kasus-kasus khusus. Misalnya, saat kamu sedang penat dengan pekerjaan, kamu tetap membutuhkan beberapa jam waktu untuk bersenang-senang secara nyata,” Kasandra kembali menjelaskan.
Nah, apa kamu mau dikategorikan sebagai orang dengan perilaku menyimpang? Kalau nggak mau maka perlakukanlah jejaring sosial dengan wajar sesuai fungsinya. Karena bagaimanapun juga kita nggak hidup di dunia maya
dari : fimela[dot]com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar