Rabu, 17 Agustus 2011

Hikmah 17 Agustus dan 17 Ramadhan

Tepat hari ini kita memperingati hari bersejarah, 17 Agustus dan 17 Ramadhan terjadi secara bersamaan. Bertemunya kedua moment penting ini tak usahlah dikait-kaitkan dengan hal-hal yang bersifat klenik. Tetapi tak ada salahnya kalau hal ini kita maknai  sebagai sesuatu yang istimewa yang disodorkan ke muka kita yang sehari-hari hanya menatap dan terpaksa harus menatap keadaan negeri yang mengenaskan. Apa istimewanya kedua moment itu?
Terakhir kita  terpaksa harus menyaksikan drama Nasaruddin yang bikin heboh itu.
Kita tahu bagi bangsa Indonesia 17 Agustus merupakan moment pembebasan dominasi manusia atas manusia lainnya. Sedangkan 17 Ramadhan adalah moment pembebasan manusia dari belenggu nafsu dan kebodohannya sendiri. 17 Ramadhan merupakan tanggal terjadinya peristiwa Nuzulul-Qur’an (turunnya Al-Qur’an) pertama kali kepada Nabi Muhamad SAW. Adapun kandungan Qur’an yang pertama kali diterima beliau adalah anjuran untuk membaca. “Iqro’ bismi rabbik….” (bacalah! dengan atas nama Tuhanmu…”). Demikian bunyi awal dari ayat Qur’an surat Al-Alaq itu.
Muhamad gemetar mendapat perintah itu karena beliau merasa tidak bisa membaca dan tak tahu apa yang harus dibaca. Belaiau lantas bertanya kepada Jibril, “Apa yang harus kubaca?“. Pertanyaan beliau ini tak mendapat jawaban secara spesifik. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan membaca harus meliputi apa saja, baik yang tertulis maupun yang terhampar di alam semesta.  Asalkan proses membaca itu selalu didasarkan atas nama Tuhan.
Menariknya, dalam konteks ini Qur’an menggunakan istilah “Rabb” dan bukan “Ilah” untuk menyebut Tuhan. “Rab” merupakan Tuhan yang jejaknya dapat ditemukan di alam semesta dan kehidupan manusia. Sedangkan “Ilah” merupakan Tuhan dalam pengertian Zat yang tak terbayangkan. Tuhan dalam pengertian ini tak terkait langsung dengan urusan manusia. Justru Dia-lah Zat tempat bergantungnya segala urusan manusia. Maka sungguh masuk akal apabila proses membaca harus mengatas namakan Sang Rab. Dengan kata lain proses membaca harus menghasilkan sesuatu yang bersentuhan langsung dengan kehidupan manusia, demi kemaslahatan hidup manusia dan bukan demi kemaslahatan Tuhan atau Ilah.
“Iqro’ bismi rabbika…” dan bukannya “Iqro’ bismi ilahika”. Sepenggal kalimat dari ayat pertama surat Al-Alaq ini mengandung pesan universal demi pembebasan manusia dari kebodohan. Menurut Quraisy-Syihab kata “Iqro’” berasal dari akar kata “Qoro’a” yang berarti “menghimpun” (kemudian lahir beragam makna sperti : menelaah, mendalami, meneliti, menigentifikasi, dan membaca). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ilmu dan Teknologi itu merupakan produk dari proses membaca atas nama Tuhan sebagai “Rab” dan bukan sebagai “Ilah”.
Jelaslah bahwa bersatunya 17 Agustus dan 17 Ramadhan pada Rabu mendatang menyiratkan makna begitu penting bagi kita saat ini. Hal ini mengingat bahwa :
1. Tampaknya selama ini kita telah terseret ke proses “membaca” dengan atas nama Tuhan sebagai “Ilah” sehingga di antara kita saling tuding kesalahan dan hanya diri kita yang merasa paling benar, bahkan orang-orang yang telah menghuni penjarapun masih merasa tak berdosa. Di antara kita juga merasa paling besar dan paling berkuasa. Hal ini harus dihentikan dengan cara menata ulang cara kita “membaca” yang cenderung mengatas namakan Tuhan sebagai “Ilah” menjadi atas nama Tuhan sebagai “Rab” demi mengembalikan jati diri dari kegemaran mengagungkan kesombongan menjadi sibuk menggeluti ilmu dan teknologi. Hanya Tuhan/Ilah yang berhak menyandang kesombongan. Sementara manusia harus terus mengasah krendahan diri melalui ilmu dan hikmah.
2. Kesalahan orientasi “membaca” atas nama “Ilah” telah melahirkan pribadi-pribadi yang haus kekuasaan. Lihatlah mereka yang berebut jabatan itu, lihatlah satgas-satgas yang terlalu bersemangat “menertibkan” orang lain sambil membiarkan diri melanggar ketertiban itu, lihatlah orang-orang yang berdebat dan saling mengalahkan itu, lihatlah orang-orang di jalan raya itu semua berebut memposisikan diri dan kendaraannya di tempat paling depan. Semua berebut posisi paling depan, paling  hebat, dan paling kuasa. Politik telah mereka jadikan sebagai panglima. Kekuasaan adalah segala-galanya padahal ini merupakan wilayah Tuhan sebagai Ilah. Hal ini harus dihentikan dengan cara membenahi proses “membaca” dengan berdasar atas nama Tuhan sebagai “Rab”.
Momen 17 Agustus dan 17 Ramadhan secara bersamaan harus kita maknai sebagai sesuatu yang mendorong kita untuk pertama, sibuk mendalami ilmu dan teknologi. Sedangkan mereka yang menghayati kesejatian ilmu pastilah akan melahirkan kerendahan hati.  Kedua, mengelola kekuasaan bukan sebagai alat untuk mendominasi sesama tetapi demi kesejahteraan bersama.
Berdasar uraian di atas lantas saya ingin bertanya pada diri sendiri, “mampukah saya melaksanakan apa yang saya katakan itu?” dan bagaimana dengan anda?

Tidak ada komentar: